cerpen

Cerpen: Tarian Ombak

19:00:00



Griya Senja -

Ombak menari di bibir pantai


Hapus gelisah dan rasa resah


Oh indahnya….. oh indahnya


Hati bahagia syalala…lala

     Perlahan bibirku menyanyikan lagu tarian ombak. Lirik lagu yang dibuat oleh kakakku Bayu sewaktu kami sekeluarga berlibur ke pantai tahun lalu. Saat kenaikian kelas, aku berhasil naik kelas 6 tanpa angka merah yang menghiasi raportku. Begitu juga dengan Mas Bayu, dia berhasil menjadi juara kelas.
     Masih sangat jelas dalam ingatanku, sepanjang perjalanan menuju pantai Mas Bayu merangkai kata demi kata lirik lagu tarian ombak. Sesekali tawa berderai menghiasi perjalanan kami. Sesampainya di pantai, Mas Bayu langsung berlari ke tepi pantai dan merentangkan kedua tangannya, seolah ingin memeluk hamparan samudra dalam dekapannya. Aku hanya tertawa melihat tingkah Mas Bayu yang terkadang seperti anak kecil. Padahal dirinya akan menghuni kelas 2 SMA tahun ini.
     “Sini kerangnya, mana bisa kamu bawa semuanya”. Ucap Mas Bayu sambil mengambil kerang – kerang dari tanganku dan memasukkannya ke saku celana. Sambil terus berjalan menyisiri pantai, kita terus bersenandung kecil, sesekali Mas Bayu berjalan ke tengah sampai air menyembunyikan kakinya setinggi lutut.
     “Ikut Mas”. Teriakku saat Mas Bayu mulai berenang ke tengah. Tanpa menunggu jawaban, aku berlari mengambil pelampung dan menyusulnya.
     “Anggi!! Bayu!! Jangan jauh – jauh”. Teriak Papa sewaktu melihat aku dan Mas Bayu mulai mendekati garis pembatas.
     “Tenang Pa, jangan khawatir”. Jawab Mas Bayu sambil melambai – lambaikan tangan. Aku memang tidak bias berenang beda dengan Mas Bayu yang jago banget. Makanya aku sering menjulukinya putra duyung.
     “Jangan jauh – jauh Mas, nanti terseret ombak baru tahu rasa”.
     “Takut??” Tanya Mas Bayu sambil mengacak – acak rambutku yang basah.
     “Ombak menari di bibir pantai, hapus gelisah dan rasa gundah. Oh indahnya… oh indahnya…
Hatiku bahagia syalala…lala…”. Mas Bayu bersenandung lirih sambil berenang menjauh. Ku alihkan pandangan ke tepi pantai, tampak Papa dan Mama tengah sibuk menata tempat. Sesekali mereka berfoto dan tertawa. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Aku sangat bersyukur mempunyai keluarga yang saling menyayangi, saling mengasihi, saling mengerti. Walau Papa selalu sibuk di kantor, tapi beliau tidak pernah melupakan waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Papa pernah bilang jika kami adalah hartanya yang berharga. Kamilah semangat hidupnya.
     “tiba–tiba ku rasakan arus dibawah kakiku mulai kuat. Ketika tersadar, aku telah keluar melewati garis pembatas. Aku begitu panik. Apalagi ketika melihat sekeliling tak ada Mas Bayu di sana.
     “Mas Bayu!!!”. Aku berteriak memanggil Mas Bayu, sambil berusaha berenang dengan pelampungku.
     “Mas Bayu!!.... kamu dimana?”. Ku ulangi lagi teriakkan ku, tapi semua tetap sama. Diam. Aku mulai menangis, antara takut juga cemas. Tangisku semakin menjadi dan tak bisa terkendali. Aku berusaha melambai–lambai. Siapa tahu di pantai sana ada yang melihat lambaianku. Atau para penjaga di menara pengawas melihat gadis kecil tengah terombang–ambing lewat teropongnya.
     Samar–samar ku lihat ada dua orang tengah berenang ke arahku. Semoga saja itu bukan halusinasiku lantaran air mata telah mengaburkan pandanganku. Ditambah rasa cemas lantaran Mas Bayu tiba–tiba menghilang.
     “Adik tidak apa–apa?”. Tanya salah seorang dari mereka yang ternyata bukan khayalan semata.
Aku tidak dapat berkata apa–apa, hanya air mata yang terus tertumpah menyatu dengan air laut hingga aku tak dapat membedakan rasa asinnya.
     “Halo…halo… pos 2 di sini. Pencarian berhasil dan korban kedua ditemukan dalam keadaan selamat. Ganti”.
Korban kedua?? Mereka menyebutku sebagai korban kedua. Berarti ada orang lain lagi selain aku dalam pencarian ini. Mas Bayu kah itu?? Rasa panik dan takut memuncak hingga suara–suara semakin tidak jelas ku tangkap. Pandanganku perlahan menjadi kabur dan semuanya tiba–tiba gelap.
Saat aku tersadar, aku telah berada di rumah. Di kamarku. Sosok pertama yang berhasil ku tangkap adalah Mama yang tengah duduk di samping tempat tidurku.
     “Ma, “. Ucapku lirih. Tanpa berkata apa–apa Mama langsung memelukku erat dan menangis. Walau masih sedikit pusing, aku berusaha untuk bangun.
     “Ma, kenapa menangis?”. Sambil berusaha melepas pelukan.
     “Mas Bayu mana?”. Tanyaku lagi, kali ini dengan suara serak menahan tangis. Bukannya menjawab, tangis Mama malah semakin keras.
     “Ma, Mas Bayu mana?”. Akhirnya roboh juga pertahananku. Aku mulai sesenggukan. Perlahan Mama melepas pelukan dan menatapku lekat. Tanpa berkata apa–apa, Mama membimbingku keluar kamar. Baru ku sadari, sayup–sayup terdengar suara orang mengaji. Sesampainya di ruang tamu, banyak orang tengah berkumpul. Tanpa diminta, pandanganku tertuju pada jasad yang terbujur kaku tertutup kain batik. Tanpa menyingkap kainnya pun aku tahu jasad siapa di balik kain batik tersebut. Mas Bayu.
Aku memeluk Mama erat. Sangat erat. Tangisku tumpah seketika. Papa tiba–tiba saja berdiri di sampingku, memelukku. Dari cerita yang kemudian ku dengar. Mas Bayu berenang melewati garis pembatas begitu jauh. Padahal sudah diperingatkan oleh penjaga dari menara pengawas. Tapi Mas Bayu seolah tak mendengar. Sampai ombak besar tiba–tiba datang menerjangnya. Sedangkan aku dikira ikut terseret bersama Mas Bayu.
     “Anggi, ayo pulang”. Suara Mama mengagetkan sekaligus membuyarkan lamunanaku. Ternyata sudah 1 jam lebih aku termenung di tepi pantai. Aku menghela nafas panjang. Hari ini genap 1 tahun kepergian Mas Bayu. Selepas dari pemakaman, aku langsung meluncur ke pantai tempat di mana terakhir kali aku berlibur dengan Mas Bayu.
Papa merangkul pundakku dan mengusap pelan kepalaku. Ku tatap sekali lagi riak–riak pantai yang tengah menari–nari, melukiskan kerinduanku pada Mas Bayu. Dengan enggan akhirnya ku berbalik dan melangkah pulang.
     “Tuhan…. tolong tempatkan Mas Bayu di sisi terbaik-Mu. AMIEN…..

Image by 3.bp.blogspot.com


You Might Also Like

0 komentar

SUBSCRIBE

Like us on Facebook