cerpen

Cerpen: Kita yang Tak Sama

10:05:00



Griya Senja - Tuhan menyayangimu, dan sekarang Tuhan telah memelukmu. Aku menangis diantara para peziarah yang tengah berjubel memenuhi TPU siang itu. Tak heran jika banyak pelayat datang untuk memberi penghormatan terakhir bagi Aldi. Mengingat Aldi dari keluarga terpandang. Ayahnya menjadi salah satu anggota di Senayan. Otomatis banyak kolega yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Diantara lautan manusia aku berusaha bertahan untuk mengikuti proses pemakaman. Walau aku bukan seorang muslim, tapi proses pemakaman seperti ini tak asing bagiku. Karena selama ini aku bergaul dengan teman-teman yang mayoritas beragama islam. Dan mereka pun tak pernah mempermasalahkan diriku yang bukan seperti mereka. Kita tetap bersama dan saling menghormati. Seperti saat ini, saat Aldi teman dekatku meninggal dunia setelah beberapa bulan terbaring koma di rumah sakit. Tuhan memanggilnya, memeluknya dalam dekapnya. Ada sebagian hatiku yang ikut hancur bersama tanah yang sebentar lagi menutup jasadnya. Mungkin bersama itulah kisah cinta kami akan ikut terkubur dan berakhir. Yach, walau agama kita berbeda, tapi aku mencintainya. Sangat. Aku tahu jika Aldi juga mencintaiku. Dan lagi-lagi agamalah alasan terkuat kita untuk tak melanjutkan secara serius hubungan ini. Aku tak mungkin meninggalkan agamaku dan mengatas namakan cinta, walau itulah alasan yang sesunguhnya. Aku dibesarkan dalam lingkup keluarga yang beragama kristen yang taat. Pamanku menjadi salah satu pemuka agama di sebuah gereja tak jauh dari rumah. Otomatis mereka akan menentang jika aku memutuskan untuk keluar dari Kristen dan memeluk islam. Aku tak ingin menyakiti mereka, karena bagiku restu orang tua adalah segala-galanya. Sedangkan Aldi, walau dia terkenal dengan gayanya yang slenge'an dan semaunya sendiri, tapi soal agama dirinya tak bisa dipandang sebelah mata. Kulihat sholat lima waktu tak pernah ditinggalkannya. Sepertinya islam telah mengakar kuat dalam dirinya. Aku jadi teringat percakapan kita waktu itu saat tengah makan siang di sebuah cafe.

"Ka, aku sayang kamu. Sayang banget kita beda". Aku yang tengah menyendok es campur kontan berhenti dan menatapnya. Ada rasa ngilu yang tiba-tiba menjalar dalam hati. Tapi aku kembali menyendok es campur dan memasukannya ke dalam mulut tanpa ada niatan menimpali ucapannya.
" Jika saja kamu muslim Ka, sudah sejak kemarin aku nikahin kamu". Aku masih terdiam sambil memainkan sendok dalam mangkuk. Bingung hendak menimpali ucapannya itu.
"Tak usah bingung Ka, aku tak memaksamu untuk meninggalkan keyakinanmu." Aldi seolah mengerti kebimbangan hatiku. 
"Karena aku tak ingin membuatmu merasa terombang-ambing atas apa yang tak kamu mengerti. Toh, jika kamu menjadi muslim, aku ingin itu benar-benar dalam hatimu, benar-benar kamu merindukan perjumpaan dengan Sang Pencipta, bukan lantaran kamu mencintaiku. Sebuah cinta yang bisa dibolak-balikan oleh Tuhan kita". Aku tergugu mendengar ucapannya. Begitu dalam dan tak bisa terbantah dengan argumenku apa saja. Yach, cinta itu terletak dalam hati. Dan seperti yang kita tahu, hati seringkali mudah terbolak-balikan. Hari ini cinta besok benci, begitu sebaliknya. Tepukan di pundak menyadarkanku, reflek aku menoleh. Ternyata Rangga dan Aden. Tampak raut kesedihan terpancar dari mata mereka. Aku hanya tersenyum tipis dan kembali menatap jasad Aldi yang tengah di masukan ke liang lahat. Tanpa dikomando butiran kristal bening meluncur membasahi pipi. Aden memeluk bahuku erat, memberiku kekuatan untuk tetap berdiri di sana. Do'a menggema mengantar kepergian Aldi. Samar kulihat Aldi berdiri di tengah para pelayat dan tersenyum ke arahku. Selamat tinggal Aldi, semoga Tuhan memelukmu dengan kasih sayangnya. Aamiin.

Image by nyata.co.id

You Might Also Like

0 komentar

SUBSCRIBE

Like us on Facebook